Tampilkan postingan dengan label Islamic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islamic. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2013

Hikmah Nabi Muhammad Menikah Dengan 9 Wanita | Poligami Nabi Muhammad

Hikmah Nabi Muhammad Menikah Dengan 9 Wanita | Melihat era sekarang banyak orang yang salah kaprah dalam memaknai sesuatu dalam menjalani syari’at kehidupan yang melekan pada dirinya sebagai seorang muslim sehari-hari. Salah satunya adalah keirian seseorang terhadap nabi Muhammad SAW dalam pertannyaannya “ Kenapa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam mengumpulkan beberapa orang istri?”

Tanggapan atas pertannyaan tersebut adalah sebagai berikiut :

Allah subhanahuwata’ala mempunyai hikmah yang tidak terhingga, di antara hikmah-Nya: sesungguhnya Allah subhanahuwata’ala membolehkan bagi laki-laki dalam syari'at sebelumnya dan di dalam syari'at nabi kita Muhammad salallahu’alaihi wassalam untuk menggabungkan dalam pernikahannya lebih dari seorang istri, maka punya banyak istri bukan khusus untuk Nabi kita Muhammad salallahu’alaihi wassalam. Nabi Ya'qub alaihissalam mempunyai dua orang istri, dan nabi Sulaiman bin Daud alaihissalam menggabungkan 99 istri dan pernah mengelilingi mereka dalam satu malam, karena ia berharap Allah subhanahuwata’ala memberikan rizqki kepadanya dari setiap istri, yaitu seorang anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah. Ini bukanlah syari'at yang baru, tidak menyalahi akal sehat dan tidak bertentangan dengan tuntutan fitrah, bahkan ia adalah tuntutan hikmah. Sesungguhnya wanita lebih banyak dari pada laki-laki, menurut hasil sensus yang terus dilakukan. Dan terkadang laki-laki mempunyai kemampuan yang mendorongnya menikah lebih dari satu orang untuk menunaikan kebutuhan di jalan yang halal, sebagai pengganti menyalurkannya di jalan yang haram atau mengekang dirinya. Terkadang wanita sedang sakit atau mendapat halangan seperti haid dan nifas yang menghalangi laki-laki menyalurkan kebutuhannya, maka ia membutuhkan istri yang lain untuk menyalurkan syahwatnya sebagai pengganti untuk mengekangnya atau melakukan perbuatan keji.

Mempunyai banyak istri dibolehkan dan dibenarkan secara akal, fitrah dan syara', dan telah dilakukan oleh para nabi terdahulu, terkadang diwajibkan karena dharurat atau terkadang didorong oleh kebutuhan, maka tidak heran hal itu terjadi pada Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam.

Ada beberapa hikmah Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam menggabungkan beberapa orang istri yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya :
Memperkuat hubungan di antaranya dan sebagian kabilah, memperkuat ikatan dengan harapan memperkuat kedudukan Islam dan membantu menyebarkannya, karena dalam ikatan perkawinan terdapat tambahan kedekatan dan memperkuat tali kasih sayang dan persaudaraan.
Di antaranya, menampung sebagian janda dan menggantikan yang lebih baik dari yang telah hilang dari mereka. Sesungguhnya hal itu menentramkan hati dan menutup musibah. Dan beliau mensyari'atkan sunnah bagi umat dalam menempuh jalan kebaikan kepada wanita yang suaminya syahid di medan jihad dan yang semisalnya.
Di antaranya, mengharapkan tambahan keturunan, sejalan dengan fitrah, memperbanyak jumlah umat dan menopangnya dengan orang yang diharapkan menjadi kebangkitan dalam membela agama dan menyebarkannya.
Di antaranya, memperbanyak juru dakwah wanita bagi umat, dari apa yang telah mereka pelajari dari Rasulullah salallahu’alaihi wassalam dan yang mereka ketahui dari perilaku beliau di dalam rumah tangga.

Semata-mata nafsu syahwat bukanlah pendorong Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam menggabungkan para istrinya, berdasarkan riwayat yang shahih bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam tidak pernah menikahi yang masih perawan dan masih muda kecuali Aisyah radhiyallahu 'anha dan semua istrinya adalah janda. Jika syahwat yang menguasainya dan nafsu sex yang mendorongnya memiliki banyak istri niscaya beliau menikahi wanita-wanita perawan yang masih muda untuk memuaskannya. Terutama setelah hijrah, mendapat berbagai kemenangan, berdirinya negara Islam, kuatnya kedudukan kaum muslimin dan jumlah mereka banyak. Ditambah lagi keinginan semua keluarga untuk memiliki ikatan pernikahan dengan beliau, akan tetapi beliau tidak melakukan hal itu. Sesungguhnya beliau menikah karena tujuan yang mulia dan dorongan yang tinggi yang diketahui oleh orang yang meneliti kondisi perkawinannya satu persatu dari istri-istrinya. Dan juga: jika beliau mengutamakan hawa nafsu niscaya hal itu bisa diketahui dalam sejarah di masa muda dan kuatnya, di saat beliau tidak mempunyai istri lain selain istrinya yang mulia: Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha, dan dia lebih tua usianya dari beliau, dan niscaya diketahui darinya penyimpangan dalam mengatur jadwal giliran di antara para istrinya yang berbeda-beda usia dan kecantikan. Akan tetapi tidak dikenal darinya kecuali kesempurnaan iffah dan amanah dalam perilaku, menjaga dirinya, dan menjaga kemaluannya di masa muda dan tuanya, yang menunjukkan kesempurnaan kebersihannya, ketinggian akhlaknya, istiqamahnya di semua urusannya sehingga dikenal dengan hal itu dan terkenal di antara para musuhnya. Wabillahittaufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Artikel dengan judul Hikmah Nabi Muhammad Menikah Dengan 9 Wanita ini dikutip dari Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa (19/170-173)

Hal-Hal Di Luar Kebiasaan Haid | Masalah-Masalah Haid

Hal-Hal Di Luar Kebiasaan Haid | Tidak jarang wanita atau kaum hawa yang tidak menghiraukan masalah penting seperti ini, namun tidak semuanya wanita atau kaum hawa tidak memperdulikan masalah-masalahnya sebagai Qudroh yang telah diberikan kepada Allah pada dirinya. Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:

1. Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2. Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau
biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid. Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata :

“Andai kata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menundanunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja.

3. Darah berwarna kuning atau keruh
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman. Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha : 

“Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci ”

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci ”, tetapi beliau sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan isyarat Al Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”. Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih ” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

4. Darah haid keluar secara terputus-putus
Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi :
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.

2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid? Madzhab Imam Asy Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid, pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan Quru ’ (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.

Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah. Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputusputus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat Al Hajj ayat 78 yang artinya :
“… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj: 78).

Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si
wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al Mughni, juz I, Hal: 355).

5. Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya). Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.

Itulah artikel saya kali ini dengan tema atau judul HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID semoga dapat bermanfaat. Terimakasih

Haid Pada Wanita Yang Hamil | Wanita Hamil Bisa Menstruasi

Haid Pada Wanita Yang Hamil | Jarang sekali kita ketahui bahwa wanita yang sedang mengandung atau hamil itupun bisa mengalami masa mentruasi. Pernyataan ini tadi masih prolog dari akar permasalahannya. Lebih lanjut dan tetailnya silahkan disimak di bawah ini khususnya bagi para kaum Hawa :

HAID WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah: “kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”. Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.

Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”. Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :

1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak (perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang
tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat Ath Thalaq ayat 1 yang artinya :
“… apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath Thalaq: 1).
Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima ’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.

2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil
ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat Ath Thalaq ayat 4 yang artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya ” (QS. Ath Thalaq: 4).


Itulah tadi postingan saya tentang Haid Pada Wanita Yang Hamil semoga bisa bermanfaat dan terimakasih.

Usia Dan Masa Haid Pada Seorang Wanita

Usia Dan Masa Haid Pada Seorang Wanita | Masa baligh yang pertama adalah saat wanita mengalami Haid untuk yang pertama kalinya. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin memaparkannya pada kalian semuanya khususnya kaum hawa.

1- USIA HAID
Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut? Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapatpendapat dalam masalah ini, mengatakan: “hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.

2- MASA HAID
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh
pendapat dalam hal ini. Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”. Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.

Itulah artikel tentang Usia Dan Masa Haid Pada Seorang Wanita semoga bisa memberikan manfaat dan pencerahan bagi kalian semuanya. Terimakasih

Makna Dan Hikmah Haid bagi Seorang Wanita | Wanita Menstruasi

Makna Dan Hikmah Haid bagi Seorang Wanita | Sebagai makhluk ciptaan Allah yang penuh dengan kelebihan dan jauh berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Kaum hawa dalam menjadi sebuah perjalanan hidup harus dituntut untuk memahami apa dan bagaimana yang telah di Qudrohkan Allah pada dirinya. salah satunya adalah Haid. 

1. MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut syara’ ialah : darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

2. HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal
masa menyusui.

Nah itulah Makna Dan Hikmah Haid bagi Seorang Wanita, semoga postingan saya kali ini bisa bermanfaat dan terimakasih.

Tata Cara Melakukan Malam Pertama | Sex Menurut Islam

Tata Cara Melakukan Malam Pertama | Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
  • Pertama : Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”
  • Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Hadits dari Abu Waail : Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah): “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
  • Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
  • Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a :
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan
dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
  • Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Itulah artikel Tata Cara Melakukan Malam Pertama semoga bermanfaat. Terimaksih.